Custom Search

Konsekuensi Neoliberalisasi PTN Islam Lewat Sistem Seleksi MABA

Baik perguruan tinggi negeri umum maupun perguruan tinggi negeri Islam sama-sama menyelenggarakan seleksi masuk untuk mahasiswa baru dengan sistem yang mirip, tetapi tidak sama.

Kalau perguruan tinggi negeri umum menggunakan SNMPTN dimana pendaftaran dapat dilakukan secara online (http://www.snmptn.ac.id/), perguruan tinggi negeri Islam punya SPMB-PTAIN (http://www.ditpertais.net/06/read.asp?newsID=279).

Penerimaan mahasiswa baru dengan sistem nasional adalah fenomena baru di lingkungan perguruan tinggi Islam.

Pada dasarnya, seleksi terasa rasional, tetapi tidak mesti seperti itu, kalau kapasitas sarana pendidikan tidak mampu menampung jumlah pendaftar. Tetapi, rupanya PTN Islam memperkenalkan sistem ini bukan karena fakta kondisi material seperti itu. Pada kenyataannya, sebagian besar PTN Islam selalu kekurangan pelamar, sehingga seleksi masuk hanya formalitas akal-akalan saja.

Kedua, ada kesan bahwa penerimaan lewat sistem SPMB-PTAIN ingin mengakomodasi kepentingan kaum miskin. Padahal, pada kenyataannya PTN Islam selama ini selalu "berpihak" pada kaum miskin. Karena kurang peminat, terkadang PTN Islam terpaksa menjanjikan beasiswa pada semua mahasiswanya agar mereka mau masuk PTN Islam. Kalau tidak demikian, mereka yang merasa punya modal pas-pasan lebih memilih masuk PTN umum.

Dengan demikian, surat edaran yang dibuat Direktur PT Islam (lihat di sini), yang mensyarakatkan PTN Islam menerima 60 persen lewat jalur SPMB-PTAIN dan 40 persen lewat jalur mandiri guna menjaring calon mahasiswa kurang mampu terasa ganjil.

Saya benar-benar tidak mengerti fenomena baru di PTN Islam ini.

Saya punya firasat bahwa tindakan ini adalah bagian dari penetrasi ideologi neoliberal yang mengedepankan aspek pilihan individu dalam memilih tempat belajar. Meskipun efeknya tidak akan seperti pada PTN umum, tetapi mekanisme seperti itu akan memungkinkan bagi kelas sosial menengah ke atas untuk memborong kursi PTN Islam di tanah air.

Adapun jatah 40 persen lewat jalur mandiri untuk anak-anak miskin tidak akan mengancam kepentingan kelas menengah sebab jatah itu pasti tidak akan terpenuhi. Jangankan masuk PT, tamat SD saja orang miskin seperti itu sangat sulit.

Dengan demikian, kelas orang mampu akan mendominasi jatah pendidikan di PTN Islam. Setelah tempat ini dimonompoli oleh mereka, dengan alasan peningkatan kualitas dan persaingan nasional dan global, PTN Islam akan lebih leluasa menaikkan biaya kuliah.

Kelas menengah biasanya tidak terlalu peduli dengan kenaikan biaya pendidikan sebab mereka adalah kelas yang diuntungkan.

Menaikkan biaya pendididikan di PTN Islam akan mematikan bidang-bidang studi sosial dan humaniora yang kurang memiliki nilai ekonomi. Atau dalam istilah Bourdieu, modal intelektual yang sulit untuk terkonversi ke dalam modal ekonomi.

Konsekuensinya, lambat atau cepat, apabila nilai-nilai neoliberal dibiarkan merasuki sistem managemen PTN Islam, benteng budaya dan identitas masyarakat Indonesia akan ambruk.

Akhirnya, perguruan tinggi Islam tinggal nama saja; nama tanpa substansi.

Apakah para manager dan birokrat pendidikan Islam benar-benar menginginkan itu?

Kita tunggu saja perkembangan berikutnya.

0 comments:

Post a Comment

Leave us your comments. Thank you